Pada era delapan puluhan Radio Republik
Indonesia memiliki pendengar yang sangat luas. Saat itu jumlah radio swasta
masih sedikit, sementara televisi juga belum banyak. Para penyiarnya memiliki
penggemar fanatik. Ada yang suka bawakan makanan hingga berkirim surat.
HERIYANTO, Pontianak
SUGENG Dasam sudah 29 tahun menjadi penyiar RRI. Awalnya tak ada niat menjadi penyiar. Sugeng juga merasa tak memiliki bakat. Di sekolah dia juga relatif pendiam alias tidak banyak bicara. “Waktu SMA, ngomong saja saya ini nggak pandai. Padahal kan modal jadi penyiar itu harus pandai bicara,” ujarnya saat ditemui di Gedung RRI Pontianak.
Suatu ketika ada penerimaan penyiar di RRI. Saat itu Sugeng belum lama lulus sekolah. Meski dengan tidak begitu yakin diterima, Sugeng mendaftar jadi penyiar. “Eh waktu daftar, saya diterima pula,” ceritanya. Awalnya sugeng belajar siaran secara otodidak. Dia kerap mendengarkan siaran lain. Setelah mulai siaran, barulah dia dilatih berbagai teknik suara. “Latihannya banyak sekali. Supaya suara enak didengar,” katanya.
Sejak saat itulah Sugeng menjadi penyiar RRI. Setiap hari dia membawakan berbagai program, mulai acara musik hingga baca berita. Sebagai penyiar, Sugeng ternyata banyak diidolakan pada pendengar. Ada pendengar yang sampai bawakan makanan ke studio. Banyak juga pendengar yang kerap mengirim surat padanya.
“Biasanya pendengar itu suka penasaran dengan penyiarnya. Suaranya kan terdengar bagus dan berwibawa. Dikira orangnya juga gagah dan berwibawa. Ternyata mereka sering tertipu, karena orangnya tak seperti suaranya. Ada yang ceking ada yang gemuk..haha..,” kata Sugeng sembari tertawa.
Kala itu memang belum begitu banyak stasiun radio swasta. Televisi juga belum banyak. Hanya ada TVRI. Setiap rumah pasti memiliki satu radio. Pendengar yang berada di kampung bahkan kerap membawa radio saat pergi berladang. Kepala Seksi Siaran RRI Agustini mengatakan, para pendengar banyak yang berasal dari berbagai daerah. Saat itu belum ada hand phone. Pendengar tidak mengirimkan sms, tetapi mengirim surat pendengar. Dari situlah diketahui dimana saja asal pendengar itu.
Saat itu mereka memakai short wave. Gelombang ini jangkauan jauh. Karena itu siaran mereka bisa menjangkau hingga ke pedalaman. “Pendengar kami bahkan ada yang dari Malaysia, Australia, dan sejumlah negara lain,” cerita Agustini. Baik Sugeng maupun Agustini sama-sama menjalani pekerjaan sebagai penyiar karena hobi. Karena itu mereka betah hingga sekarang. Meski keduanya saat ini tidak membawa acara sebanyak dulu, sesekali mereka masih mengisi acara. “Kami ini sama-sama menikmati siaran. Jadi kerja bukan semata-mata cari uang. Ya karena hobi. Makanya betah sampai sekarang,” ujar Agustini.
Kini para penyiar radio harus bersaing dengan berbagai media, mulai dari televisi hingga internet. Karena itu agar para pendengar tidak lari mereka harus pandai-pandai mengemas suatu acara. “Kalau tidak pandai mengemas acara, pendengar bisa kabur. Dan radio bisa ditinggalkan,” ujarnya. Beberapa tahun lalu kemunculan berbagai media yang sangat cepat, terutama televisi dan internet diperkirakan akan mematikan siaran radio. Tetapi pada kenyataannya hal itu tidak benar-benar terbukti. Menurut Sugeng setiap media akan menyesuaikan diri dengan jaman. “Buktinya pendengar kami masih ada. Tentu karena kami mencoba mengemas siaran supaya tetap didengar,” ujarnya.
Kemunculan telepon seluler juga membantu tetap bertahannya siaran radio. Kini hampir di setiap HP ada fasilitas radio di dalamnya. Sehingga para penggunanya bisa sewaktu-waktu mendengar radio. Penyiar lain Diana Rusnawati mengatakan keberhasilan sebuah acara sangat ditentukan oleh penyiarnya. “Kalau penyiarnya bagus, pendengar akan setia mendengarkan. Tetapi kalau penyiarnya kabur, pendengar bisa kabur ke radio lain atau mematikan radionya,” ujarnya. Menurut Diana, penyiar sering merasa rindu dengan suara penyiar lawas. “Mungkin mereka ingat ketika masa muda suka mendengarkan suara kami. Jadi sering minta kami siaran lagi,” katanya. (her)
SUGENG Dasam sudah 29 tahun menjadi penyiar RRI. Awalnya tak ada niat menjadi penyiar. Sugeng juga merasa tak memiliki bakat. Di sekolah dia juga relatif pendiam alias tidak banyak bicara. “Waktu SMA, ngomong saja saya ini nggak pandai. Padahal kan modal jadi penyiar itu harus pandai bicara,” ujarnya saat ditemui di Gedung RRI Pontianak.
Suatu ketika ada penerimaan penyiar di RRI. Saat itu Sugeng belum lama lulus sekolah. Meski dengan tidak begitu yakin diterima, Sugeng mendaftar jadi penyiar. “Eh waktu daftar, saya diterima pula,” ceritanya. Awalnya sugeng belajar siaran secara otodidak. Dia kerap mendengarkan siaran lain. Setelah mulai siaran, barulah dia dilatih berbagai teknik suara. “Latihannya banyak sekali. Supaya suara enak didengar,” katanya.
Sejak saat itulah Sugeng menjadi penyiar RRI. Setiap hari dia membawakan berbagai program, mulai acara musik hingga baca berita. Sebagai penyiar, Sugeng ternyata banyak diidolakan pada pendengar. Ada pendengar yang sampai bawakan makanan ke studio. Banyak juga pendengar yang kerap mengirim surat padanya.
“Biasanya pendengar itu suka penasaran dengan penyiarnya. Suaranya kan terdengar bagus dan berwibawa. Dikira orangnya juga gagah dan berwibawa. Ternyata mereka sering tertipu, karena orangnya tak seperti suaranya. Ada yang ceking ada yang gemuk..haha..,” kata Sugeng sembari tertawa.
Kala itu memang belum begitu banyak stasiun radio swasta. Televisi juga belum banyak. Hanya ada TVRI. Setiap rumah pasti memiliki satu radio. Pendengar yang berada di kampung bahkan kerap membawa radio saat pergi berladang. Kepala Seksi Siaran RRI Agustini mengatakan, para pendengar banyak yang berasal dari berbagai daerah. Saat itu belum ada hand phone. Pendengar tidak mengirimkan sms, tetapi mengirim surat pendengar. Dari situlah diketahui dimana saja asal pendengar itu.
Saat itu mereka memakai short wave. Gelombang ini jangkauan jauh. Karena itu siaran mereka bisa menjangkau hingga ke pedalaman. “Pendengar kami bahkan ada yang dari Malaysia, Australia, dan sejumlah negara lain,” cerita Agustini. Baik Sugeng maupun Agustini sama-sama menjalani pekerjaan sebagai penyiar karena hobi. Karena itu mereka betah hingga sekarang. Meski keduanya saat ini tidak membawa acara sebanyak dulu, sesekali mereka masih mengisi acara. “Kami ini sama-sama menikmati siaran. Jadi kerja bukan semata-mata cari uang. Ya karena hobi. Makanya betah sampai sekarang,” ujar Agustini.
Kini para penyiar radio harus bersaing dengan berbagai media, mulai dari televisi hingga internet. Karena itu agar para pendengar tidak lari mereka harus pandai-pandai mengemas suatu acara. “Kalau tidak pandai mengemas acara, pendengar bisa kabur. Dan radio bisa ditinggalkan,” ujarnya. Beberapa tahun lalu kemunculan berbagai media yang sangat cepat, terutama televisi dan internet diperkirakan akan mematikan siaran radio. Tetapi pada kenyataannya hal itu tidak benar-benar terbukti. Menurut Sugeng setiap media akan menyesuaikan diri dengan jaman. “Buktinya pendengar kami masih ada. Tentu karena kami mencoba mengemas siaran supaya tetap didengar,” ujarnya.
Kemunculan telepon seluler juga membantu tetap bertahannya siaran radio. Kini hampir di setiap HP ada fasilitas radio di dalamnya. Sehingga para penggunanya bisa sewaktu-waktu mendengar radio. Penyiar lain Diana Rusnawati mengatakan keberhasilan sebuah acara sangat ditentukan oleh penyiarnya. “Kalau penyiarnya bagus, pendengar akan setia mendengarkan. Tetapi kalau penyiarnya kabur, pendengar bisa kabur ke radio lain atau mematikan radionya,” ujarnya. Menurut Diana, penyiar sering merasa rindu dengan suara penyiar lawas. “Mungkin mereka ingat ketika masa muda suka mendengarkan suara kami. Jadi sering minta kami siaran lagi,” katanya. (her)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar