“Mau jadi penyiar yang bener, Ngger?”
tanyanya.
Di
luar matahari mulai tinggi. Saya baru saja menutup siaran pagi itu dan langsung
dipanggil ke ruangannya seperti biasa untuk ngobrol sambil menghabiskan sarapan
bubur langganan yang selalu lewat di depan stasiun radio kami yang terletak di
sebuah rumah di tengah-tengah kawasan pemukiman di Jakarta. Saya mengangguk.
“Nah,
buang dulu ijazah UI-mu!” kata-kata itu keluar dari mulutnya berbarengan dengan
kepulan asap rokok kretek, entah yang keberapa batang. Kombinasi kata-kata dan
asap yang membuat saya tersedak bubur.~~~
Kami
memanggilnya Om Jack, nama udaranya sejak dia siaran dulu tahun 80-an di sebuah
radio di Jakarta. Menjelang pertengahan tahun 90-an ketika radio tempat saya
kerja menjalani perombakan manajemen, dia dipercaya menjadi manager. Saya masih
ingat betapa kagetnya kami para penyiar dengan gaya kepemimpinannya yang
informal, dan pemikirannya tentang radio yang jujur saja ketika itu saya anggap
kampungan. Kampungan sekali, tepatnya.
Masih
segar dalam ingatan ketika dia mengawali rapat perubahan program dengan sebuah
bagan yang ditempelnya di papan ruang rapat. Bagan itu menunjukkan siklus hari
dari pagi, siang, sore sampai malam. Diapun mengajak kami membayangkan apa yang
dilakukan orang pada setiap paruh hari itu, dengan sangat rinci. Anak-anak
sedang apa, para orang tua sedang apa, seperti apa suasananya, sampai ke
suara-suara apa saja yang terdengar ketika itu. Itu teori dasar radio, katanya.
Bayangkan,
dari bagan “kampungan” itu dia merombak siaran harian radio kami dan terbukti
berhasil. Kalau indikator keberhasilan itu adalah hasil survey, maka tidak
sampai dua tahun radio kami sudah naik dari peringkat dua digit ke peringkat
satu digit. Siaran pagi yang saya gawangi bersama seorang teman bahkan sempat
masuk ke 5 besar.
Nah
bagaimana memindahkan konsepnya itu ke udara? Sebelumnya saya ceritakan dulu
segmen radio kami ketika itu lalu saya contohkan bagaimana memindahkannya ke
siaran pagi yang saya gawangi bersama beberapa teman baik.
Segmen
radio kami ketika itu adalah keluarga, menengah ke bawah. Mereka adalah
orang-orang biasa yang kita temui sehari-hari. Tidak kaya, tapi tidak juga
miskin-miskin amat. Masih punya motor, atau mobil kantor, tapi kebanyakan naik
angkutan umum. Tinggal di rumah sederhana, mungkin di gang-gang yang riuh. Usia
rata-rata masih muda, punya anak masih kecil. Di pagi hari semua sibuk
bersiap-siap ke kantor atau sekolah, sarapan ala kadarnya, mungkin nasi uduk
atau bubur ayam dan tidak sempat baca koran pagi. Harus buru-buru berangkat
supaya dapat tempat di angkutan umum. Kadang mereka tiba di tempat kerja
pagi-pagi sekali supaya tidak kena macet Jakarta yang saat itu saja sudah gila.
Nah, silahkan pikirkan seperti apa acara untuk mereka.
Nah
apa rahasianya memindahkan semua itu ke udara? Jawabnya: Biasa saja lah! Ya,
biasa saja.
1.
TEMAN BIASA
Pendengar
itu teman. Kita harus paham mereka, kita harus jadi bagian dari mereka. Dengan
menjadi mereka, kita bisa tahu apa yang mereka lakukan dari waktu ke waktu, dan
tahu seperti apa suasana di sekitar mereka, kita jadi tahu apa yang mereka
butuhkan. Kita menjadi teman bagi mereka.
Apa
sih yang dibicarakan di udara? Jawabnya adalah, apa sih yang kira-kira
dibicarakan sehari-hari oleh para pendengar dari segmen itu? Bisa jadi tentang
kehidupan mereka, tentang kelucuan anak mereka yang beranjak besar, tentang
keluh kesah para ibu dengan harga-harga terus naik, tentang kemacetan dan
suasana di jalan dan masih banyak lagi.
Berita
pagi itu tentu juga penting. Tapi alih-alih membacakan dengan gaya berita, kami
jadikan bahan ngobrol dan kira-kira komentar apa yang akan keluar dari
pendengar segmen kita. Baca berita politik bisa jadi diseling dengan sentilan
atau sindiran, misalnya. Ketika radio lain sibuk menelepon para pakar, kami
malah menelpon pendengar untuk ikut berkomentar dengan cara mereka sendiri.
Kami ajak mereka untuk bercerita apa yang akan mereka lakukan kalau misalnya
mereka ada di posisi politisi atau pejabat yang menjadi sorotan pemberitaan
pagi itu, misalnya.
Kalaupun
kami menelpon pakar, itupun hanya sesekali tapi dengan gaya ngobrol yang tidak sok
tahu, apalagi bertabur analisa njlimet. Soalnya hidup buat mereka sudah
njlimet. Bahkan saking isengnya kami pernah menelpon Andi Mallarangeng yang
ketika itu jadi pengamat politik terkenal, tapi bukan untuk ngobrol soal
politik, melainkan tentang cara merawat kumisnya yang lebat hehe…
Kadang
saya dan rekan penyiar pagi membuat drama-drama pendek dari kehidupan mereka,
dengan berbagai peran mulai dari anak kecil yang cerewet, kakek-kakek,
tante-tante centil dan macam-macam karakter yang akhirnya dikenal dan sering
dicari oleh pendengar.
Menjadi
teman berarti menyatu dengan mereka, tahu kebutuhan mereka, tahu apa yang
mereka bicarakan, tahu apa yang mereka gosipkan dan lain sebagainya. Menjadi
teman tidaklah harus berlebihan. Cukup jadi teman biasa saja, yang memang
mereka temui dalam keseharian.
Ya,
menjadi teman biasa! Dalam teori radio populer kita diajarkan agar membayangkan
seolah bicara dengan satu orang pendengar secara personal. Dalam teori radio
ala Om Jack kami melangkah lebih jauh lagi dengan benar-benar menjadi teman dan
mereka terbukti menyambut uluran pertemanan kami di darat dan udara. Sebuah
pelajaran yang terus saya bawa dalam karir radio, bahkan ketika sudah siaran di
sebuah radio internasional.
2.
SUASANA BIASA
Suasana?
Nah ini yang unik. Kami diminta membayangkan seperti apa suasana mereka, apa
yang mereka dengar di pagi itu. Jadilah kami siaran dengan backsound suara
burung peliharaan yang pagi itu mulai berkicau riang, bercampur suara anak-anak
berlarian atau suara lalu lintas yang ramai. Malah saya pernah iseng membuka
siaran dan dari dalam kamar mandi lengkap dengan sound effect suara wc yang
disiram suara orang mandi.
Office
boy kantor yang masih muda sempat saya minta membacakan berita utama di koran
pagi itu dengan gaya penjaja koran. Terkadang kami ngobrol di udara dengan
latar suara denting mangkuk bubur ayam, suara kriuk-kriuk kunyahan krupuk
ditingkahi suara koran yang dibolak-balik. Kalau ini bukan sound effect tapi
suasana kami sedang makan bubur ayam yang sebenarnya. Bahkan terkadang si
tukang bubur atau tukang ketoprak mengantarkan masuk pesanan saat kami sedang
mengudara, dan kamipun menyempatkan mengajak dia ngobrol di udara. Bayangkan,
tukang bubur ditanya soal berita politik di koran pagi itu? Pernah pula kami
ajak seorang pengamen yang menyanyikan lagu jawa dengan sitarnya, lalu
ngobrol-ngobrol kesana kemari.
Om
Jack bahkan pernah muncul dengan ide yang buat saya gila. Dia sadar pendengar
kami banyak yang tidak pakai mobil. Dia sempat terpikirkan untuk memberi hadiah
radio saku kepada pendengar, tapi frekuensinya sudah dikunci ke frekuensi radio
kami. Lebih gila lagi, dia pernah menantang saya untuk siaran dari atas bis
kota yang penuh sesak. Biar merasakan seperti apa suasana pendengar kita,
katanya.
3.
LAGU-LAGU BIASA
Tentu
lagu menjadi penting bagi radio. Tapi lagu seperti apa? Ketika itu jaringan
radio kami sudah menggunakan teknologi perangkat lunak untuk secara otomatis
mengacak lagu-lagu yang akan diudarakan sehingga tidak sering ada pengulangan.
Tapi saya dan tim siaran pagi ngotot untuk tidak membiarkan komputer mengatur
lagu kami dan Om Jack memberi izin walau katanya dia harus berdebat dengan
pihak manajemen dan juga dengan penyiar lain.
Jadi
lagu-lagu biasa seperti apa? Pertama, kami sesuaikan lagu-lagu dengan topik
obrolan pagi itu. Ini standar siaran radio sejak dulu. Kami memilih lagu-lagu
Indonesia dan Barat yang populer di masa remaja segmen pendengar kami,
masa-masa yang pastinya indah dan berkesan buat mereka. Lagunya juga sebagian
besar temponya sedang dan tinggi disesuaikan dengan suasana pagi, meskipun
terkadang muncul juga yang slow. Tolok ukur kami adalah reaksi pendengar.
Pernah ada pendengar yang menelepon dengan suara terpekik senang karena kami
memutar First Love-nya Nikka Costa yang rasanya merupakan lagu “kebangsaan” di
usia remaja mereka.
Tentu
segmen pendengar kami bukannya tidak mengikuti perkembangan lagu-lagu baru.
Kami sertakan juga lagu-lagu yang tengah sangat populer ketika itu. Itu perlu
karena bagaimanapun lagu-lagu semacam ini sudah akrab juga dengan keseharian
mereka.
Beruntung
partner siaran pagi saya adalah Music Director, sehingga akses dan pengetahuan
lagunya jadi sangat bermanfaat untuk siaran pagi kami.
4.
MENJADI PENYIAR BIASA YANG TIDAK BIASA
Ya,
jadi penyiar itu biasa saja lah. Jangan lebay, begitu bahasa gaulnya saat ini.
Tapi justru itu yang tidak biasa. Tidak biasa karena setiap hari saat siaran
kami harus dituntut memeras otak dengan ide-ide baru yang kreatif untuk
menemani segmen pendengar seperti yang saya ceritakan di atas.
Bagi
saya ilmu “biasa” yang ditularkan Om Jack ini sangat luar biasa. Salah satu hal
yang selalu saya ingat dari obrolan seusai siaran pagi atau saat begadang
sampai malam di kantor bersamanya adalah “Jangan berpikiran standar!” Think out
of the box, kata orang bule. Karena menurut beliau, banyak orang yang saat ini
sudah malas berpikir dan hanya bisa membebek saja. Parahnya, hal itu sudah
dianggap sebagai hal biasa, hal yang umum. Padahal kalau saja mereka mau
melakukan sesuatu yang berbeda, maka mereka akan menonjol. Itu baru biasa yang
tidak biasa, katanya.
Bicara
dengannya seolah otak saya selalu diperas. Tapi itulah yang menyebabkan kami
bisa bertahan menjalani hari-hari siaran. Setiap pagi dalam perjalanan ke
kantor selalu otak ini penuh dengan ide-ide baru yang tidak tahan untuk saya
wujudkan dalam siaran. Kadang saya dan partner siaran serta tim produser saling
kontak untuk berbagi ide siaran pagi itu.
Hingga
akhir ajalnya, prinsip berpikir di luar standar dan tidak biasa ini tetap ia
pegang teguh. Tahun-tahun terakhir hidupnya dijalani dengan mendirikan sebuah
pesantren untuk anak-anak jalanan. Para santrinya adalah anak-anak jalanan,
preman, anak-anak punk dan bahkan penganut agama lain. Diapun tetap tampil
dengan gaya yang tidak biasa, tapi biasa menurutnya. Bayangkan sosok lelaki
tua, tinggi kurus, rambut putih gondrong melewati bahu, memakai kaus lusuh dan
celana loreng-loreng yang tidak kalah lusuh sedang memimpin pengajian, membahas
ayat-ayat Tuhan secara biasa, secara sederhana tapi mengena di hati. Itulah
pengakuan seorang mantan preman yang sempat saya temui sewaktu berkunjung ke
rumah beliau di pinggiran Bogor beberapa tahun silam.~~~
“Buang
dulu ijazah UI-mu, Ngger!” kata-kata beliau itu terus terngiang di kepala sejak
pertama kali mendengar kabar kepulangan guru radio saya itu. Ya, itulah cara
beliau untuk mengajari saya menjadi penyiar biasa yang tidak biasa. Maklumlah,
ketika itu saya selalu membanggakan ilmu yang saya dapat di sebuah universitas
terkemuka di negeri ini. Kebanggaan yang malah membuat saya sombong dan
menjauhkan saya dari keinginan untuk terus berkreasi, dan memberi jarak dengan
pendengar. Kebanggaan yang malah membuat saya terancam menjadi robot-robot yang
tidak pernah mempersoalkan kenapa harus melakukan hal yang sama terus setiap
hari sampai batereinya soak hehe..
Selamat
jalan Om Jack! Semoga kau akhirnya bisa menyatu dengan cahayaNya yang selama
ini selalu kau rindukan. Maaf saya sering mentertawakanmu ketika di sela-sela
obrolan malam kita di kantor dulu saya pernah menganggap kau sedang meracau.
Ternyata itu saya yang meracau..
Tokyo, 10 Maret 2013
- Mengenang 7 hari berpulangnya Djoko “Om Jack” Tuladi, seorang guru radio biasa yang luar biasa ( Rane Hafidz )
- Mengenang 7 hari berpulangnya Djoko “Om Jack” Tuladi, seorang guru radio biasa yang luar biasa ( Rane Hafidz )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar