Minggu, 28 April 2013

Wawancara Radio Australia

Sudah puluhan tahun Basoeki Koesasi mengabdi. Ia telah memperkenalkan budaya dan bahasa Indonesia di Australia, sebagai dosen di Monash University. Pengorbanannya pun telah diakui dengan mendapatkan Bintang Jasa Pratama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya hanya satu kunci sukses mempelajari budaya, yakni mengenal perbedaan.
Radio Australia: Apa yang pertama kali membuat Pak Bas begitu bersemangat untuk mengajari Bahasa Indonesia?
Basoeki Koesasi (Pak Bas): Pada mulanya, saya baru tiba di Australia, tidak banyak orang yang tahu tentang Indonesia. Orang tahunya hanya Bali, bukan Indonesia. Oleh karena itu saya seperti mendapat tantangan untuk mempromosikan dan memperkenalkan Indonesia. Kalau tinggal di luar negeri itu: lebih jauh dari Indonesia, lebih dekat kita dengan Indonesia. Karena itu, saya cukup senang mengajarkan bahasa, budaya Indonesia yang bagian dari hidup saya, dibayar orang lagi, hahaha, jadilah saya kerja di universitas (sebagai dosen).
Tapi yang paling saya tekankan kepada warga Australia adalah mengingatkan agar mereka harus punya rasa tenggang rasa dengan tetangga mereka. Nah kalau saya menjelaskan soal budaya dan bangsa Indonesia dengan cara mereka, bukan dengan cara saya. Dan buktinya berhasil.
Anda lihat sendiri kan, semua bekas mahasiswa saya, hampir semua, berhasil. Greg Barton, berhasil, Julian Millie berhasil, David Hanan. David Hanan itu tokoh Monash yang cukup dikenal di Indonesia di dunia perfilman. Saya membantu dia untuk membuat subtitle dari film-film Indonesia. Bahkan film yang kuno sekali. Harimau Tjampa, atau Si Pitung. Oleh karena itu, kami kerjasama tidak hanya berdasarkan pengalaman, tapi pengetahuan tentang budaya, dan ada rasa peka terhadap budaya orang lain.
RA: Dengan kata lain, bahwa bahasa ini juga sebenarnya bisa membantun hubungan Indonesia dan Australia?
Pak Bas: Sudah pasti itu, kita kan hidup di dunia komunikasi sangat cepat sekali. Kalau ada salah komunikasi, karena tidak saling mengetahui, tidak saling mengerti, terutama komunikasi yang berbeda budaya, akan mengganggu hubungan antara dua negara. Saya tekankan bahwa filsafat pengajaran bahasa Indonesia itu harus bersama-sama dengan budaya, tidak bisa dipisahkan sama sekali.
RA: Apakah Anda yakin generasi muda di Australia memiliki minat yang tinggi untuk mempelajari bahasa Indoensia? Karena dari beberapa laporan malah mengatakan minat menurun.
Pak Basi: Menurut saya ini masalah yang sudah biasa terjadi. Kalau saya mau menyalahkan, salahkan keadaan ekonomi dunia. Ini disebabkan karena para mahasiswa yang saya tahu di universitas atau di sekolah, hanya memikirkan tentang masa depan ekonomi mereka. Dan mereka tidak melihat bahwa belajar bahasa dan budaya orang lain itu akan membantu mereka untuk meningkatkan kehidupan ekonomi mereka.
Mereka harus tahu bahwa masa depan mereka itu di negara tetangga mereka, terutama Indonesia. Kalau mereka tidak mengerti bahasa budaya mereka, akan sulit untuk mereka untuk maju. Apalagi nanti Indonesia akan menjadi salah satu dari sepuluh negara top bisnis di dunia.
Satu lagi yang jadi kendala buat mereka adalah jika kita tidak mengubah cara mengajarkan bahasa dan budaya Indonesia dengan lebih efisien, interaktif, dengan lebih [menggunakan] media-media yang sangat cepat. Bahan pelajaran itu harus kita sesuaikan. Bahkan kita harus bisa mengajarkan jarak jauh, yaitu mengirim bahan-bahan melalui internet.”
RA: Di Indonesia sendiri generasi muda mempelajari Bahasa Indonesia. Tapi tetap saja ada kecenderungan bahwa akhirnya kita lupa akan identitas sebagai orang Indonesia. Bagaimana Anda melihat ini?
Pak Bas: Ya ini juga satu yang sudah saya pikirkan juga, banyak orang yang sudah lupa dengan penggunaan bahasa kita, budaya kita. Karena banyaknya media dan informasi yang masuk ke Indonesia dan mempengaruhi sistem budaya dan komunikasi kita antara satu dan yang lainnya.
Memang sulit, dan kita harus hadapi dengan kiat yang tadi saya sebutkan, kita harus mengikuti cara "mereka". Kalau cara yang paling cepat adalah menggunakan sistem yang mereka kenal, nah itu yang kita pakai. Apakah melalui twitter, facebook, kenapa enggak? Kita harus mengakui itu kenyataan sekarang.”
 RA: Kalau kita bandingkan masa lalu dengan yang akan datang, apakah sudah ada perbedaan dalam hal warga Australia memandang Indonesia, dan sebaliknya?
Pak Bas: Tentu ada perbedaan, karena sekarang segala sesuatu sudah sangat cepat sekali, ada Facebook, Twitter, You Tube. Oleh karena itu, jangan melawan arus, tapi tetap dalam koridor, ini bangsa kita, ini jati diri kita, ini yang harus dipelajari, ini yang harus dibanggakan, ini yang yang kurang ditekankan.
Sedangkan orang-orang dari luar negeri berusaha mempelajari Indonesia, kok kita tidak mempelajari tentang diri kita sendiri. Kadang saya malu kalau teman-teman dari Indonesia ditanya oleh orang Australia, tapi kemudian tidak bisa menjawab karena tidak tahu. Mereka lebih tahu informasi tentang luar negeri daripada negara Indonesia sendiri.
Tapi saya juga sedikit lega mendengar ada usaha dari pemerintah untuk memperkenalkan kembali pelajaran budaya, pelajaran budi pekerti dan sejenisnya agar anak-anak kita tidak selalu terpengaruh dengan apa yang mereka lihat di media massa, atau sibuk dengan hal-hal yang tidak ada gunanya dengan mereka.
RA: Mungkin ada diantara warga Indonesia yang mendambakan posisi Anda sebagai dosen di luar negeri, bisa mengajar di luar negeri, ada tipsnya?
Pak Bas: Sebenarnya gampang saja, kita harus punya komitmen. Saya ingin mengabdi kepada bangsa kita dengan mengajarkan bahasa dan budaya. Seandainya kita bisa tekankan itu setiap hari, maka jadilah suatu pengabdian kepada bangsa kita dan pasti akan bisa berhasil.
Kita juga harus berusaha menampung semua dan belajar menerima perbedaan, bukan melawannya. Justru, dengan mempelajari, mengenal, dan mengetahui perbedaan, kita bisa menyampaikan kepada warga asing.
Saya tidak langsung satu hari bisa jadi guru, mengajar, atau terlibat dalam berbagai kegaiatan yang ada hubungannya dengan Australia. Saya belajar dulu tentang orang Australia., ingin memahami cara berpikir mereka, berusaha dengan sabar untuk menjelaskan dan menerima cara berpikir perbedaan.
RA: Anda pernah mendapatkan penghargaan tertinggi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ya kan?
Pak Bas: Di tahun 2010, yaitu penghargaan bintang jasa pratama, jadi First Class Service untuk pengorbanan dan dedikasi kepada bangsa dan negara Indonesia melalui pendidikan dan kebudayaan.
RA: Sudah puaskah Anda dengan apa yang capai saat ini?
Pak Bas: Kalau mimpi masih banyak sekali, tapi sementara saya cukup menerima apa yang saya dapatkan. Saya juga sudah mulai berumur dan harus tahu diri. Tapi bukan berarti saya berhenti untuk mendorong teman-teman Australia agar lebih tahu tentang budaya dan bangsa saya (Indonesia).

Tidak ada komentar: